Jakarta – Tokoh sentral Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab menyoroti program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, terutama Badan Nasional Pemberantasan Korupsi (BNPT).

Habib Rizieq Prihatin Gerakan Radikal Selalu Diidentikkan Dengan Islam

Walaupun secara umum, Habib Rizieq mengaku mendukung program tersebut, tetapi ada sejumlah catatan memprihatinkan pada tataran pelaksanaan program. Seperti pelaksanaan kegiatan deradikalisasi yang hanya difokuskan di pesantren-pesantren, masjid-masjid dan ormas-ormas Islam.

“(Program) lebih digiatkan pada kelompok Islam. Seolah radikalis itu kelompok Islam. Ini memprihatinkan,” ungkap Habib Rizieq mengawali pembicaraannya saat bersilaturahim dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kemenag, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Jumat sore (05/08/2016).

Habib melanjutkan, kelompok radikal di luar Islam sangatlah banyak. Untuk sekadar contoh, kelompok radikal di Bali dan Papua, sejauh ini belum disentuh program deradikalisasi. Karena itu Habib Rizieq mempertanyakan sejauh mana peran Kemenag dalam program ini.

“Laporan dari daerah, saat pelaksanaan program deradikalisasi, foto-foto FPI dan FUI dijadikan sebagai contoh gerakan radikal. Kalau Kemenag aktif, tentu tidak membuat BNPT seliar itu. Kita tidak anti deradikalisasi tetapi harus komprehensif dan tidak salah target,” harap Habib Rizieq.

Menurut Habib, program deradikalisasi sulit mencapai tujuan apabila proses liberalisasi dibiarkan. Kutub kiri dan kanan, lanjut Habib, berperan dalam memancing amarah umat. Kelompok radikal akan mendapat dukungan masyarakat jika yang dihadapi adalah liberalisasi. “Karena itu Kemenag harus berperan dalam proses deliberalisasi,” tegasnya.

Sebagai solusi, kepada Menteri Agama, Habib mengusulkan agar pemerintah, dalam hal ini Kemenag, memiliki program alternatif yakni Aswajaisasi. Mengingat negara ini adalah negara Ahlussunnah wal Jamaah, dengan Ormas-ormas yang beragam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, DDII, FPI dan lainnya.

“Alangkah indahnya selain kita lakukan deliberalisasi dan deradikalisasi juga kita lakukan Aswajaisasi. Ini dilakukan dalam buku-buku pelajaran di sekolah,” usulnya.

Habib yang mengenyam pendidikan sarjananya di Arab Saudi kemudian mencontohkan negara tersebut yang secara resmi dalam pelajaran sekolah mengajarkan akidah sesuai dengan mazab resmi negara, yakni Wahabi. Jika ada yang berbeda, pasti menjadi sumber konflik.

Hal yang sama, menurut Habib, juga dilakukan di Iran yang merupakan negara Syiah. Kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah akidah Syiah Itsna Asyariah. Dalam kurikulum nasional tidak boleh ada ajaran Aswaja. (Yayan – www.harianindo.com)