Jakarta – DPR seharusnya menerima Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) pada pekan kedua September 2016. Hal tersebut pun menjadi target Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Sayangnya, draf tersebut baru diterima DPR minggu lalu. Keterlambatan tersebut bisa mengacaukan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Masykurudin Hafidz Tegaskan Materi RUU Pemilu Belum Sesuai Harapan

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, selain terlambat dari target awal, materi legislasi RUU Pemilu yang diserahkan Presiden ke DPR masih jauh dari harapan dan sangat membutuhkan penyempurnaan. “Ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/10/2016).

‎”Contohnya adalah perihal sistem Pemilu. Dalam sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan Pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik,” lanjutnya.

Masykurudin menjelaskan bahwa elemen sistem Pemilu lainnya dalam RUU tersebut menyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi, di mana suara Parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya. ‎Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR.

Baca juga: Berita Terkini : Ibu Negara Gelar Rapat Kerja Oase di Kereta

Perubahan paling signifikan, kata Masykurudin, terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan berdasarkan nomor urut.

‎”Ketentuan ini, seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut,” tutur Masykurudin.