Jakarta – Juli 2017 ini menandai 20 tahun terjadinya awal krisis keuangan Asia atau yang lebih dikenal dengan sebutan krisis moneter (krismon). Krisis yang berawal dari devaluasi mata uang baht Thailand, yang akhirnya menjalar ke negara ASEAN lainnya termasuk Korea Selatan ini pun berdampak besar bagi Indonesia.

Pakar Sebut Krisis Moneter 1997 Bisa Terulang

Ilustrasi

Seperti dilansir dari metrotvnews.com, Jumat (14/7/2017), negara kita mengalami dampak terparah dari krisis tersebut meski Indonesia paling akhir terimbas.

Dengan demikian, dalam rangka mengenang kepahitan dan derita tersebut, dan yang lebih penting agar tidak terulang kembali, perlu melakukan tracking dan menganalisis apa yang telah berubah dan apa yang tidak berubah setelah krisis berlalu selama 20 tahun tersebut.

Faktor utama dari krisis tersebut pada waktu itu masih menjadi perdebatan yang belum berujung pada kesimpulan yang pasti, bahkan masih menjadi misteri hingga saat ini. Pengamat Barat menengarai biang keladi krisis Asia tersebut adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan ekonomi dan terbudayakannya hubungan yang sangat intim antara pengusaha dan pemerintah di negara-negara tersebut yang dikenal sebagai “crony capitalism.”

Komentator dari Asia menyalahkan spekulator dari perusahaan pengelola dana investasi (hedge funds) yang dengan sengaja menggoyang pasar keuangan Asia semata-mata untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan langkah International Monetary Fund (IMF) yang memberikan resep ekonomi yang tidak menyehatkan, bahkan membunuh perekonomian negara-negara yang terdampak krisis tersebut.

Yang jelas kombinasi dari penyebab tersebut lebih masuk akal untuk dicerna. Misalnya, Bank Sentral Thailand (BOT) menerbitkan laporan neracanya yang membesar-besarkan ketersediaan cadangan devisanya, yang menimbulkan keraguan publik yang menunjukkan kurangnya transparansi tentang kondisi laporan keuangan yang sebenarnya.

Akhirnya spekulator menekan mata uang baht yang diikuti perusahaan hedge funds dan bank-bank investasi, yang notabene bank-bank tersebut menjadi salah satu penasihat pemerintah Thailand tentang cara mengatasi masalah tersebut. Tatkala masalah sudah semakin parah, kemudian minta nasihat dari IMF, masalah semakin parah karena saran IMF lebih pada penghematan fiskal (fiscal austerity) yang berlebihan sehingga overkill.

Tetapi, pada dasarnya krisis tersebut merefleksikan ketidaksinkronan antara model pertumbuhan ekonomi potensialnya dan pertumbuhan ekonomi aktualnya. Model pertumbuhan ekonomi aktualnya menekankan pada nilai tukar yang stabil yang merupakan syarat untuk ekspansi ekspornya.

Selain itu, mengandalkan pada ekspansi investasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berada pada akselerasi tinggi lebih dari 10 persen, serta membuka keran pinjaman luar negeri yang berlebihan demi mendanai belanja investasinya.

Sejatinya, pada 1997 ekonomi negara-negara tersebut sudah berada pada tahap perkembangan yang investasi saja tak cukup menjamin pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan. Dengan mengandalkan pada pinjaman asing untuk pendanaan domestik, sempurna-lah risiko yang dihadapi ekonomi negara-negara tersebut.

Di lain pihak, tekanan dari pihak luar semakin memperparah keadaan. Syarat Korea Selatan masuk sebagai anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) ialah penghapusan kontrol mobilitas arus dana sehingga ekonomi negara tersebut kebanjiran dana asing yang terkategori sebagai uang panas.

Baca juga: Bukan Penghasilan di Bawah Rp 7 Juta, Rumah DP 0 Persen Untuk Warga Berpenghasilan Rp 7-10 Juta

Tak hanya itu, tekanan dari IMF dan AS agar negara-negara di wilayah tersebut membuka arus dana asing yang semakin bebas, semakin memperbesar risiko yang dihadapi negara tersebut, dan diperparah dengan sistem nilai tukar tetap yang semakin problematis. (Yayan – www.harianindo.com)