Surabaya – Dalam dua kasus bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) dan Senin (14/5/2018), semuanya melibatkan satu keluarga, dimana yang melakukan aksi yakni ayah, ibu, dan anak-anaknya.

Anak Pelaku Bom Yang Tak Disekolahkan dan Diajak Lakukan Aksi Teror

Pada peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, pada Minggu (13/5/2018), pelaku yang bernama Dita Oepriarto (48) membagi tugas pada lima anggota keluarganya yang lain. Istri dan dua anak perempuannya meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, dua anak laki-lakinya melakukan aksi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, sedangkan Dita sendiri menabakkan mobilnya yang berisi bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Arjuno.

Untuk kasus bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, pada Senin (14/5/2018), pelaku Tri Murtiono (50) juga mengajak istri dan tiga orang anaknya menggunakan dua motor. Tri membonceng anak perempuannya dan seorang anak laki-lakinya. Sementara motor yang lain dikendarai anak laki-laki Tri bersama istrinya. Dalam aksinya ini, Tri beserta istri dan dua anak laki-lakinya tewas di tempat, sedangkan anak perempuannya selamat setelah digendong menjauh dari lokasi oleh seorang polisi bernama AKBP Roni.

Dari pemeriksaan yang dilakukan polisi dan keterangan sejumlah saksi, anak-anak para pelaku bom tersebut ternyata tidak disekolahkan, dengan tujuan menghindari interaksi dengan lingkungan dan menanamkan doktrin ke mereka.

Bila ditanya tetangga, pelaku bom bunuh diri biasanya akan menjawab anak-anaknya menjalani sekolah rumah (homeschooling). Hal yang sama diajarkan juga kepada anak-anak mereka untuk menjawab bila ada orang yang menanyakan hal itu.

“Homeschooling kalau ditanya. Padahal nggak,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Irjen Machfud Arifin, dalam jumpa pers di Markas Polda Jawa Timur, Jl Frontage Ahmad Yani, Surabaya, Selasa (15/5/2018).

Sehari-harinya, anak-anak ini tidak diajarkan pendidikan yang layak seperti di sekolah umum, namun hanya ditanamkan ideologi dan paham radikal di otak mereka melalui video-video dan doktrin.

“Ya hanya bapak-ibunya yang memberikan doktrin terus, dengan video-videonya, dengan ajaran-ajaran yang diberikan,” ujar Machfud.
(samsul arifin – www.harianindo.com)