Jakarta – Ketua Tim Hukum kubu 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra menuding adanya kesaksian palsu dalam sidang sengketa Pilpres 2019.
Yusril mengaku bakal melaporkan kesaksian dari saksi kubu 02 Prabowo-Sabdi yang terbukti telah memberikan kesaksian palsu, Jumat (21/06/2019).
Bahkan, Yusril akan menanyakan secara langsung hal tersebut kepada Jokowi dan Ma’ruf Amin.

“Kami nanti bisa tanyakan kepada Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf, ini sidang sudah selesai, ada kesaksian palsu,” kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (21/06/2019).
“Kita dengar pendapat beliau-beliau bagaimana, kalau bilang ya sudah dimaafkan maka selesai urusannya,” imbuhnya.
Dalam pernyataannya, Yusril menilai kesaksian dari saksi Beti yang menimbulkan pro kontra.

Walaupun demikian, Yusril menyatakan bahwa tidak akan melaporkan Beti, meski tidak menutup kemungkinan ada kelompok-kelompok yang mempermasalahkannya.
“Misal Pak Moeldoko bilang terserah kuasa hukum, kami kan kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf, setelah sidang selesai baru kami konsultasikan ke beliau berdua,” ujar Yusril.

“Kalau Pak Moeldoko mau membawa ke pengadilan nanti akan ada kuasa hukum yang lain,” katanya.

Yusril menngklaim bahwa kubu Prabowo-Sandi gagal untuk mebuktikan perihal kecurangan pilpres 2019.
“Pak Bambang Widjojanto sebagai ketua tim lawyer-nya Pak Prabowo-Sandi ini, bisa enggak membuktikan tuduhan selama ini, bahwa Pemilu curang?,” tanya Yusri Ihza Mahendra di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/06/2019).
YUsril berpendapat bahwa memidanakan Bambang Widjayanto lebih penting dibandingkan dengan para saksi yang diajukan di persidangan.

“Jauh lebih penting mempidanakan dia daripada mempidanakan saksi-saksi yang kecil itu,” kata Yusril.
“Ini kan tuduhan terhadap seorang presiden dan wakil presiden. Ini penting, jangan sembarangan menuduh kalau tidak bisa membuktikan,” imbuhnya.
Yusril menambahkan bahwa kubu 02 pun tidak bisa memberikan bukti apa-apa terkait masalah kecurangan yang mereka tuduhkan

“Gembar-gembor bisa membuktikan, diberikan kesempatan untuk membuktikan, ternyata tidak sanggup buktikan apa-apa di persidangan,” ujar Yusril.

Sejumlah saksi kubu 02 yang dihadirkan dalam sidang pada Rabu (19/06/2019) hingga Kamis (20/06/2019) dini hari, menyampaikan kesaksian yang ramai diperbincangkan.

Satu di antaranya adalah kesaksian Beti Kristina, yang menyatakan bahwa dirinya mendapati tumpukan amplop resmi yang digunakan untuk menyimpan form C1.

Beti menyatakan bahwa amplop bertanda tangan tersebut didapati sudah dalam keadaan terbuka dan tidak ada isinya.
Ia juga menyatakan menemukan lembaran segel suara berhologram yang sudah tergunting.
“Lembaran itu menggunung, setelah dikumpulkan menjadi empat karung lebih,” katanya.

Beti mengklaim bahwa temuan itu terdapat di halaman kantor Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, 18 April 2019 pukul 19.30 WIB.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon langsung memberikan responnya.
“Mohon izin Yang Mulia menjelaskan apa yang terjadi di Boyolali kemarin, jadi ini amplop sama dengan amplop yang dibawa kemarin. Nah amplop yang ada di kecamatan, KPU,” kata Ketua KPU Arief Budiman tak selesai menjabarkan, Kamis (20/06/2019).
Hakim Konsititusi Saldi Isra meminta para pemohon dan termohon maju ke depan meja hakim untuk memberikan perbandingan.
Perbandingan dilakukan antara amplop yang ditemukan oleh saksi BPN dengan amplop milik KPU yang telah digunakan maupun yang masih baru.

“Supaya paham, yang pertama memang sampulnya jenisnya,” kata Komisoner KPU Hasyim.
“Coba dilihat dulu, mana sampul,” sahut Saldi.

Hasyim lalu mengatakan kecurigaan bahwa amplop dari pihak BPN memiliki banyak kejanggalan.
“Sampulnya memang jenisnya macam-macam dan kemudian ukurannya beda-beda tergantung apa yang akan dimuat di sampul,” ujar Hasyim.
“Yang pertama itu ada sampul model salinan untuk formulir model C1 di dalamnya ada identitas TPS. C1 yang ukurannya tidak besar, atau yang kecil ini kodenya di luar kotak, di bawah itu ada di luar kotak suara.”

Hasyim lalu memperlihatkan amplop yang biasa dipakai untuk surat suara yang rusak atau keliru.
“Ini formulir untuk di luar kotak nanti ada yang lain lagi, yang kedua sampul TPS kabupaten/ kota untuk surat suara rusak atau keliru coblos,” kata Hasyim.
“Sama enggak ininya?,” jawab Hakim Konstitusi sambil memnbandingkan kedua amplop tersebut.
“Beda, ini lebih tebal. Tapi intinya bisa jadi setiap provinsi beda karena yang mengadakan KPU Provinsi. Standar sama,” jawab Hasyim.
“Ini yang belum dipakai ya karena belum ada dicantumkan berapa lembarnya ya,” sahut Saldi.
“Betul. Demikian juga yang ditemukan kemarin di kolom sebanyak titik-titik lembar karena kosong dalam pandangan kami berarti tidak pernah dipakai untuk apa-apa karena masih kosong,” jawab Hasyim.
“Kalau ada mesti ada tulisan berapa lembar yang ada di dalam. Kalau yang ini yang disampaikan oleh saksi kemarin tidak ada bekas lem, tidak ada bekas segel enggak ada.”
“Tunggu dulu, pemohon lihat ya enggak ada bekas lemnya ya,” jawab Saldi menunjukkan amplop dari saksi BPN ke kuasa hukum BPN.
“Ini garing, sudah kering enggak bisa dipakai,” jawab Zulfadi selaku anggota Tim Kuasa Hukum BPN.
“Coba contoh yang punyanya KPU yang baru tadi kalau dia sudah terpakai ada tanda robekan. Ini ya kalau barang sudah dilem dibuka kemungkinan robek ya,” ujar Saldi.
“Tidak simetris lagi lah istilahnya,” tambah Hasyim.
“Jadi di sini tidak ada jumlah lembar, kemudian nama kecamatan-kecamatan kemudian nomor TPS. Kemudian ini DPRD kemarin pilpres sudah diserahkan,” sahut Zulfadli. (Hari-www.harianindo.com)