Jakarta – Direktur Amnesty Internasional Indonesia (AI), Usman Hamid menyoroti patroli terhadap aplikasi pesan singkat WhatsApp (WA) merupakan cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyebarkan politik ketakutan di tengah masyarakat. Langkah ini sangat bertentangan dengan HAM karena gagal melindungi ruang-ruang privat warga negara.

“Jika patroli WA atas nama ‘keamanan nasional’ dilakukan tanpa prosedur hukum yang demokratis, maka itu bisa jadi pelanggaran serius terhadap ruang-ruang privasi warga negara,” tegas Usman di Jakarta, Minggu (23/06).

Usman pun menganggap bahwa kebijakan ini akan menjadikan masyarakat merasa selalu diawasi oleh aparat kepolisian.

“Jadi dengan mengumumkan di publik itu bisa menghadirkan rasa takut warga negara. Mereka khususnya yang awam akan merasa dipantau oleh polisi dan oleh karena itu kebebasannya untuk berekspresi di ruang-ruang WhatsApp perlahan terisolir,” kata Usman.

Usman menyerukan kepada para anggota dewan supaya praktik politik ketakutan tersebut bisa digagalkan. Karena jelas hal itu bisa mengontrol kritik yang pada dasarnya adalah hak setiap warga negara.

Ia juga menyarankan untuk meminimalisisr penyebaran hoaks dengan melakukan edukasi terhadap masyarakat, bukan malah dengan patroli mamasuki grup-grup WhatsApp yang merupakan ranah privasi masyarakat.

“Taktik-taktik politik ketakutan ini sebaiknya dicegah oleh parlemen sehingga tidak memata-matai, bahkan mengendalikan ekspresi kritik yang sah di masyarakat. Seharusnya pemerintah dan DPR meningkatkan upaya untuk edukasi masyarakat secara positif dalam menggunakan media sosial untuk memerangi penyebaran berita-berita bohong, bukan dengan mengambil jalan pintas yang melanggar privasi dengan melakukan monitoring di WA,” katanya.

“Jadi rencana tersebut harus dibatalkan baik oleh Kominfo maupun kepolisian,” imbuh Usman.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (purn) Moeldoko telah menyetujui jika ada patroli Siber pada WhatsApp grup. Ia pun menambahkan bahwa negara perlu melakukan pengawasan untuk meminimalisir kondisi yang mengganggu situasi nasional.

“Ya memang harus begitu,” kata Moeldoko di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/06/2019).

Menurutnya, Menko Polhukam, KSP, Panglima TNI, Kapolri, Menkominfo, Mendagri dan Jaksa Agung sudah menyatakan sepakat bahwa saat ini perlu perhatian lebih sederet situasi yang bisa mengacaukan situasi negara, termasuk di dalamnya situasi dalam media soasial.

“Bahkan akan memunculkan situasi yang semakin runyam, maka negara tidak boleh ragu-ragu untuk mengambil keputusan bahwa salah satu media sosial atau WhatsApp dan seterusnya apapun itu yang nyata-nyata akan mengganggu situasi keamanan nasional, maka harus ada upaya untuk mengurangi tensi itu,” ungkapnya.

Moeldoko mengklaim bahwa patroli yang akan dilakukan tidak akan mengganggu privasi masyarakat karena setiap warga negara pasti akan rela melakukan apapun demi negaranya termasuk menggadaikan privasi.

“Negara memikirkan tentang keamanan nasional. Keamanan nasional harus diberikan karena itu tanggung jawab presiden. Tanggung jawab pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Jadi, kalau nanti tidak dilindungi karena abai, mengutamakan privasi maka itu, nanti presiden salah loh,” ucapnya.

Walaupun begitu, Moeldoko menjamin bahwa patroli ini hanya sebatas mengetahui apa yang dilakukan, berbicara apa, dan menulis apa. Tidak akan terfokus pada hal-hal pribadi.

“Patroli itukan hanya mengenali siapa melakukan apa, berbicara apa, menulis apa, sepanjang itu baik-baik saja, enggak ada masalah, yang jadi masalahkan karena penggunaan kata-kata yang pada ujungnya menyinggung orang lain, menyakiti orang lain, memfitnah orang lain, sepanjang kita baik baik saja enggak ada masalah,” tandasnya. (Hari-www.harianindo.com)