Jakarta- Kelompok teroris Jamaah Islamiah (JI) menyebarkan radikalisme melalui kemasan pengajian. Media massa juga digunakan untuk menyebar propaganda.

Namun, media yang dimiliki JI tidak terdaftar di Dewan Pers.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyatakan pola pendekatan itu secara khusus dipakai kelompok JI.

“Di beberapa wilayah memang seperti itu karena dia menilai pahamnya paling benar,” kata Dedi.

Menurut Dedi, kelompok JI menggunakan pendekatan lebih santun jika dibandingkan dengan Jamaah Ansarut Daulah (JAD). Anggota yang mereka rekrut memiliki kemampuan dan kualitas.

” Kelompok yang direkrut mereka cukup efektif untuk penguatan organisasi mereka. Mereka merekrut bukan secara kuantitas, melainkan secara kualitas jauh lebih dibutuhkan mereka,” ungkap Dedi.

Pimpinan JI, PW, misalnya, memiliki kekuatan ekonomi yang kuat untuk memperlancar jaringanteroris yang ada. PW memiliki usaha perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatra.

“Perkebunan sawit itu menghasilkan uang untuk membiayai aksi, membiayai organisasi, dan membiayai gaji daripada pejabat atau orang di dalam struktur Jaringan JI,” jelas Dedi.

Pejabat di dalam struktur jaringan JI juga mendapatkan gaji mulai Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Mereka aktif membangun ekonomi, merekrut peserta, dan membuat pelatihan untuk membangun khilafah di Indonesia.

PW pernah memberangkatkan enam kelompok anggotanya untuk pelatihan di Suriah. Dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan tersebut diambil dari hasil perkebunan kelapa sawit.

Sejauh ini, Jawa Barat paling kuat dipengaruhi oleh JI. Lalu, di Jawa Tengah dan sebagian di Jawa Timur. JI juga berkembang di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Namun, pengaruhnya masih sedikit.

JI juga membangun koneksi kepada partai politik (parpol). Bukan hanya parpol, JI juga menjalin kedekatan dengan berbagai masyarakat, termasuk masyarakat kelas bawah.

Teroris menyelundup ke dunia politik bukan isapan jempol lantaran memang nyata keberadaannya. Pengamat terorisme Al Chaidar mengklaim bahwa mereka bahkan masuk proses demokrasi demi mendapatkan kekuasaan. “Dia (masuk) lebih elegan dan saat ini sudah mulai bermain,” kata Al Chaidar.

Chaidir tak membantah ada kelompok teroris yang masuk sebagai salah satu pendukung calon presiden. Bahkan, mereka turut mendanai agenda-agenda tertentu. “Ini kenyataan yang saya juga tidak mau membantah karena malas berurusan dengan orang-orang seperti itu,” ungkap dia.

Chaidar meminta pemerintah segera turun tangan untuk bertindak. Pemerintah harus mengidentifikasi sedari dini. “Lalu, lakukan track record, harus diikuti terus-menerus dan tidak boleh putus. Itu kewajiban negara untuk memperbarui terus-menerus informasi sekecil apa pun,” ujar dia.

Pengamat terorisme Noor Hadi menyatakan jaringan terorisme Jamaah Islamiah (JI) bisa saja menyusup melalui berbagai saluran.

Saat ini teroris mulai aktif di berbagai gerakan sosial maupun politik. Teroris mulai menunggangi proses demokrasi melalui Pemilu 2019. (Hari-www.harianindo.com)