Jakarta – Wacana penyelenggaraan Ijtima Ulama IV semakin diseriusi. Untuk acara ini, Persaudaraan Alumni (PA) 212 menggandeng serta Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Rencananya, Ijtima Ulama IV akan diselenggarakan pada Agustus 2019.

Ketua PA 212 Slamet Ma’arif menyatakan bahwa pihaknya akan berjuang demi berjalannya acara. Slamet juga menambahkan bahwa ia akan menerobos siapa saja yang akan menghalangi jalannya acara.

“Kami akan terus mengawal hingga akhir perjuangan. Siapapun yang satu visi dengan PA 212, silahkan naik ke dalam gerbong. Sementara siapa pun yang tidak nyaman dan tidak sevisi, silahkan turun,” ujar Slamet.

“Siapa pun yang berada di depan dan menghalangi akan kami tabrak, karena kereta akan jalan terus,” sambungnya.

Baca Juga: PBNU: “Ijtima Ulama IV Jangan Hanya Ingin Memelihara Keterbelahan”

Menanggapi wacana tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah turut angkat bicara. Meskipun kedua ormas mempersilahkan penyelenggaraan Ijtima Ulama, namun kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut menyayangkan sikap kecewa para penggerak Ijtima Ulama terhadap pertemuan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.

“Kita tidak melarang Ijtima Ulama itu, tapi jangan kemudian ada ijtima ulama yang keempat hanya ingin memelihara keterbelahan. Jangan begitu. Saat ini umat pada umumnya sudah menginginkan rekonsiliasi dan tidak ada lagi pembelahan,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU Masduki Baidowi.

Masduki juga mempertanyakan alasan dibalik Ijtima Ulama. Menurut Masduki, ijtima di kalangan NU dilakukan untuk membahas masalah fiqih dan keagamaan. Ia tidak sepakat apabila Ijtima Ulama dilaksanakan atas dasar politik praktis.

Senada dengan NU, Muhammadiyah pun juga menyatakan untuk tidak terlibat di dalam Ijtima Ulama IV. Menurut Ketua Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Trisno Raharjo, Ijtima Ulama IV tak perlu responsif terhadap pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Meski demikian, Muhammadiyah juga tak mempermasalahkan acara Ijtima Ulama tersebut.

“Ijtima tidak perlu bersifat responsif akibat suatu pertemuan. Ini kurang baik menurut saya. Akan lebih baik jika ijtima dilakukan untuk konsolidasi umat dalam peningkatan partisipasi kebangsaan. Sehingga bangsa Indonesia menjadi lebih baik,” kata Trisno. (Elhas-www.harianindo.com)