Minahasa – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sulawesi Utara, Melky Pangemanan, mengungkapkan kecamannya terhadap upaya pelarangan beribadah bagi umat Muslim di Perum Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

“Saya melihat di sosial media video tersebut. Sungguh saya kaget karena ini terjadi di Sulut. Tindakan tersebut adalah upaya merusak keberagaman yang ada di Sulawesi Utara, yang dikenal sebagai laboratorium toleransi umat beragama di Indonesia”, ujar Melky, Minggu 28 Juli 2019.

Menurutnya, yang terjadi telah melanggar terhadap nilai-nilai moral bangsa dan prinsip hak asasi manusia. Selain itu, hal ini jelas berlawanan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan untuk beribadah.

Menurut Melky yang baru terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara, tidakan melarang ibadah merupakan tindakan yang salah, apakah persoalan izin mendirikan bangunan (IMB) atau karena dalih lainnya. Karena, seluruh warga negara Indonesia dilindungi untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agamanya.

“Setiap warga negara Indonesia berhak dan dilindungi memeluk agama dan beribadah, tidak ada ketentuan harus ada izin untuk ibadah. Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan negara harus menjamin. Negara wajib memberi perlindungan hingga memfasilitasi bukan menghalangi,” katanya.

Melky mengaku langsung terjun ke lapangan dan menghubungi pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan ini. Mereka menyepakati untuk menyelesaikan permasalahan dengan damai.

“Saya datang langsung ke tokoh masyarakat Muslim, Pak Daniel Pangemanan, dan menghubungi pemerintah desa. Menurut saya pemerintah cukup bijaksana melihat persoalan ini dan menginginkan persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan damai. Begitu juga dari Pak Daniel yang sangat kooperatif dan berharap mereka dapat menjalankan ibadah dengan tenang,” kata Melky.

Sebelumnya, Hukum Tua atau Kepala Desa Tumaluntung, Ifonda Nusah, menampik kabar telah melakukan penyegelan musala di Desa Tumaluntung, seperti yang ramai dibicarakan di media sosial.

Nusah berdalih bahwa yang dipermasalahkan oleh warga bukan musala, melainkan Balai Pertemuan Al Hidayah di dekat musala tersebut.

“Itu bukan musala, tapi balai pertemuan. Nah, karena di situ mulai ada aktifitas ibadah maka masyarakat mempertanyakan kepada saya. Tugas saya sebagai pemerintah desa mengecek lokasi yang dipermasalahkan. Kalaupun itu rumah ibadah, maka pemerintah menanyakan izinnya. Jadi bukan saya melarang untuk beribadah di situ, bukan. Kalau ada yang beribadah, masa kami larang. Hanya saja untuk mendirikan rumah ibadah, harus ada izin,” katanya, Minggu 28 Juli 2019.

Sebagai perangkat desa, Nusah telah mengundang warga yang sering melakukan pertemuan di Balai Pertemuan Al Hidayah, tapi mereka tidak mengindahkan undangannya.

“Pertemuan itu digelar Kamis, 25 Juli 2019. Bertujuan mempertemukan warga di Desa Tumaluntung dengan warga yang sering datang di Balai Pertemuan Al Hidayah. Namun kami tunggu tidak datang-datang,” tandasnya. (Hr-www.harianindo.com)