Jakarta – Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menyatakan bahwa perkara utang PT Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya kepada negara bisa berujung pada penyitaan aset. Adapun utang dua perusahaan tersebut mencapai Rp 1,763 triliun, termasuk di dalamnya bunga dan denda.

“Pada akhirnya bisa (disita) kalau kami kemudian sudah menyerahkan kepada panitia urusan piutang negara,” ujar Isa di kantornya, Rabu, 31 Juli 2019. Ia menyatakan bahwa penyitaan bisa dilakukan bila hingga tiga kali penagihan perusahaan jika masih belum ada itikad untuk melunasi hutang pada pemerintah. Saat ini baru akan dilakukan penagihan pertama pasca waktu jatuh tempo 10 Juli 2019.

Menurut Isa, bila setelah melakukan penagihan hingga tiga kali dan belum melakukan pembayaran sama sekali, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bisa menyerahkannya kepada panitia Urusan Piutang Negara. “Kita yang jelas tahapannya itu kita misalnya harus menagih pertama, nanti menagih kedua, menagih ketiga.”

Sebenarnya, kata Isa, sejak sebelum jatuh tempo pembayaran, pemerintah senantiasa memberikan peringatan kepada perusahaan untuk segera melakukan pelunasan hutang. Bahkan, peringatan juga sudah dilayangkan berulang kali setiap waktu jatuh tempo cicilan.

“Nah sekarang ini kita keseluruhan tagihan itu lengkap pada 10 juli 2019 menurut proses itu kita harus menyampaikan tagihan yang keseluruhan utang ini secara lengkap itu. Kami segera melakukan penagihan pertama untuk tagihan besar secara lengkap,” kata Isa.

Adapun selang antara tiap waktu penagihan menurut Isa setiap kasus memiliki kasus yang berbeda-beda. Pada kasus ini, selang waktunya bisa mencapai 3-6 bulan untuk setiap penerbitan penagihan. Pasalnya untuk perkara Bendahara Umum Negara bisa mencapai nominal yang besar dan berdasarkan kepada suatu perjanjian. Jadi bukan kewajiban yang bedasarkan pada aturan.

Menurut Isa, hingga kini Lapindo belum melunasi utangnya yang jatuh tempo pada 10 juli 2019. Meski, ia menyatakan bahwa perseroan tetap rutin menjalin komunikasi dengan Kementerian Keuangan setiap sepekan atau dua pekan sekali.

Isa menjelaskan, pihak Lapindo sebetulnya tidak lepas tangan. “Tapi bukan berarti mereka bayar, enggak juga. Mereka selalu update ke kami tiap pekan atau tiap dua pekan saya selalu dapat surat soal barang jaminan tanah tanah yang mereka beli dari penduduk itu hingga progres sertifikat nya sampai mana, mereka lapor. Tapi ya kan kita pengennya bayar ya,” ujar Isa. Dia menyatakan saat ini perseroan baru membayar Rp 5 miliar dari total utang perusahaan kepada negara.

Sebelumnya, Lapindo sebenarnya telah berusaha untuk melakukan pembayaran jaminan utang lewat pengalihan aset perusahaan di Sidoarjo. Perusahaan mengusahakan sertifikasi tanah di area terdampak. Namun, saat ini, baru sekitar 44 hektare yang rampung. Kesulitan melakukan sertifikasi muncul lantaran masih banyak tananh yang diselimuti lumpur.

Perusahaan juga melakukan sertifikasi pada lahan seluas 45 hektare yang sebelumnya merupakan Perumnas Tanggulangin Sejahtera. Saat ini, sertifikat dari sejumlah aset yang telah jelas kedudukan hukumnya telah diserahkan kepada Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, yang dinaungi secara langsung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Jika semua aset jaminan utang Lapindo telah selesai dihitung dan disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional Jawa Timur, Kementerian Keuangan akan kembali melakukan penilaian. Isa menyebut pihaknya memiliki tim penilai yang akan memvalidasi aset dari kedua perusahaan.

Adapun dalam pertemuan sebelumnya, Isa juga sempat menanggapi permintaan Lapindo terkait tukar guling atas adanya utang dan piutang tersebut. Isa menjelaskan dana cost recovery itu tidak bisa semerta-merta menutup utang Lapindo. “Secara aturan, tidak memungkinkan kami negoisasi dengan hal-hal seperti itu,” ucapnya.

Isa melanjutkan dengan tegas penolakan negosiasi utang tersebut semata-mata lantaran aturan cost recovery yang justru tidak mungkin. “Bukan masalah kami tidak mau tetapi menurut aturan cost recovery-nya yang justru tidak memungkinkan,” ucapnya. Selain itu, cost recovery menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas atau SKK Migas.(Hr-www.harianindo.com)