Jakarta- Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengklaim bahwa target pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara pada 2024 di Kalimantan Timur sulit untuk direalisasikan. Lantaran, anggap Fadli, pemindahan ibu kota membutuhkan proses jangka panjang 10 hingga 20 tahun.

“Itu (10-20 tahun) masih masuk akal. Itu pun dengan prasyarat kondisi ekonomi kita baik,” ungkapnya di Gedung MPR/DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa (03/09).

Politikus Partai Gerindra itu mengungkapkan bahwa saat ini Jakarta masih layak untuk menjadi ibu kota. Kendati demikian, ia menyarankan bahwa ibu kota negara yang baru berada tidak jauh dari Jakarta di antaranya di Jonggol atau Kertajati, keduanya berada di Provinsi Jawa Barat.

Hal senada, kata dia, dilakukan oleh negara Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya di Putra Jaya yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kuala Lumpur. “Itu namanya split capital, jadi masuk akal untuk memindahkan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis tetap di Kuala Lumpur dan tidak kehilangan stasus sebagai ibu kota tapi Putra Jaya itu pusat pemerintahan,” katanya.

Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan Keamanan itu melanjutkan bahwa pemerintah saat ini ingin mencontoh Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia atau ditempuh sekitar dua jam penerbangan. “Di kota itu mati tidak ada kehidupan, itu sudah berjalan puluhan tahun sampai sekarang, kelihatan ideal tapi tidak efektif, efisien,” kata Fadli Zon.

Sebelumya, Presiden RI Joko Widodo mengambil keputusan bahwa kawasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai kawasan ibu kota baru pemerintahan. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembangunan ibu kota baru itu direncanakan akan dimulai pada tahun 2021.

Target penyelesaian pembangunan gedung pemerintahan pada tahun 2024. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan bahwa estimasi total biaya proyek dan pembiayaan fisik ibu kota negara itu mencapai sekitar Rp466 triliun. Estimasi total biaya itu terdiri atas tiga sumber pembiayaan, yakni APBN sebesar Rp74,44 triliun, skema KPBU Rp265,2 triliun, dan swasta melalui skema kerja sama pemanfaatan sebesar Rp127,3 triliun. (Hr-www.harianindo.com)