Surabaya – Empat bulan terakhir ada sebanyak 48 siswa SD, SMP, maupun anak seumuran itu yang putus sekolah di Surabaya, ketahuan minum minuman keras, tawuran, atau ngelem bareng.

Tim Satpol-PP dan BPB Linmas Surabaya yang mendapati mereka di berbagai kawasan sejak empat bulan silam.

Data Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP5A) Surabaya, tercatat kasus miras terjadi paling banyak. Selama empat bulan terakhir, diketahui ada 30 anak yang minum miras.

Sebanyak 19 di antara anak-anak itu adalah siswa SD dan SMP, sedangkan 11 lainnya adalah anak seusia mereka yang sudah tidak bersekolah alias putus sekolah.

Kasus terbanyak kedua adalah ngelem. Ada 10 anak yang kedapatan ngelem empat bulan terakhir ini. Enam di antaranya pelajar SD atau SMP, empat lainnya putus sekolah.

Lalu ada delapan anak yang terlibat kasus tawuran yang didapati Tim Satpol-PP maupun Linmas. Lima di antaranya siswa SD atau SMP, tiga lainnya putus sekolah.

Selasa (10/09/2019) sore, Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya mengumpulkan anak-anak tersebut di kediamannya di Jalan Sedap Malam Surabaya.

Satu per satu Risma bertanya terhadap anak-anak tersebut, terutama terkait alasan mereka dan bagaimana mereka bisa terlibat dalam aksi yang buruk tersebut.

“Ini balasanmu kepada ibumu? Mbok pikir enggak sakit melahirkan kalian? Sakit!” kata Risma kepada anak-anak itu.

“Belum lagi malam-malam bangun ngasih kalian minum. Terus kalian belum bisa ke kamar mandi sendiri, ibumu yang bersihin. Ini balasanmu?” kata Risma.

Puluhan anak itu pun hanya bisa menundukkan kepala tanda merasa menyesal atau mungkin lebih takut lantaran nada bicara Risma saat mengatakan ini terkesan marah.

Sebagian besar dari mereka mengaku minum miras karena ikut-ikutan. Sampai ada kesimpulan, pengaruh datang dari anak yang sudah putus sekolah.

“Sudah, jangan saling menyalahkan. Yang penting kalian janji, ya, tidak mengulangi lagi?” Tanya Risma. Anak-anak itu manggut-manggut dan menjawab lirih.

Sebelumnya, Risma juga sempat melontarkan pertanyaan terkait konsekuensi yang akan mereka dapat jika melakukan perbuatan tersebut lagi. Ada yang menjawab siap untuk mendekam di penjara.

Ada juga yang bilang, siap masuk Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos). “Kok enak, cuma masuk Liponsos. Enggak bisa,” kata Risma diikuti tawa singkat para camat.

Setiap kali ada anak yang mengaku dari wilayah tertentu, Risma langsung bertanya “mana camatnya?” Camat bersangkutan pun sigap berdiri.

“Mereka ini ketangkep Satpol-PP. Ngeri juga anak SD ketangkep ngelem, ketangkep minum miras. Saya harus melakukan sesuatu. Hasil akhirnya Tuhan yang menentukan,” kata Risma ke awak media.

Selain memberikanefek jera terhadap anak-anak, Risma mengumpulkan mereka untuk membangkitkan semangatnya dengan mempertemukan mereka dengan anak-anak kurang beruntung di Kampung Anak Negeri.

“Kadang kan mereka mungkin merasa hopeless. Orangtuanya miskin atau karena masalah lain. Tapi ternyata anak-anak yang masalahnya jauh lebih kompleks bisa bangkit,” ujarnya.

Selain itu, Risma mengajak masyarakat Surabaya benar-benar berkomitmen bahwa semua anak-anak Surabaya adalah anak-anak mereka juga. Masalah mereka bermacam-macam. Pengaruh bisa datang dari arah mana saja.

“Ada yang kenal (teman yang membawa pengaruh buruk, red) di rumah, ada yang kenal di sekolah, ada yang kenal di media sosial. Macam-macam masalahnya. Saya kira semua harus terlibat mengantisipasi ini tidak terjadi lagi,” ungkapnya.

Risma sendiri pada kesempatan tersebut, setiap kali menemukan anak-anak yang terjerat dengan kasus miras, tawuran, maupun ngelem, ternyata ada masalah keluarga, dia menawarkan, “mau tidak jadi anakku?” Mereka rata-rata menjawab, “iya.” (Hr-www.harianindo.com)