Jakarta – Kabag Mitra Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan modus yang dilakukan oleh pelaku dalam membuat propaganda di media sosial itu dengan meme bermuatan SARA. Meme itu dibuat banyak untuk disebar ke grup-grup baru yang dibuat oleh pelaku.

Bagaimana Cara Kelompok Saracen Menghasilkan Uang ?

Sejumlah barang bukti yang disita polisi

“Dari penelusuran penyidik, dia membuat meme itu ditampung di dalam satu grup. Nanti membuat meme lagi di buat grup lagi,” kata Awi, Kamis (24/08/2017).

Untuk membuat akun baru, pelaku sengaja membeli kartu SIM yang banyak. Hal itu dilakukannya untuk memudahkan verifikasi saat mendaftar.

“Dari mereka juga kita temukan SIM Card yang banyak, sekitar 50 lebih,” terang Awi.

Pelaku yang sudah ditangkap saat ini sebanyak tiga orang, yakni Jasriadi, Sri Rahayu, dan Muhammad Faizal Tonong. Sistem kerja mereka dilakukan secara intensif dan bergantian.

Meski mereka dipisahkan oleh tempat, pelaku tetap berhubungan secara rutin lewat media sosial.

“Dia bergantian, bahkan yang ketua sendiri ada sekitar kita temukan hate speech-nya ada 6, ada juga akun-akun lainnya sebanyak 11. Itu semua yang sudah mereka buat,” tuturnya.

Mereka berbagi peran layaknya sebuah organisasi. Jasriadi dipercaya sebagai ketua, Sri sebagai koordinator wilayah dan Tono sebagai bidang media.

Baca juga : Saracen, Kelompok Penyebar Kebencian Yang Dikelola Secara Profesional

Para pelaku sadar membuat akun-akun palsu itu membutuhkan biaya. Mereka lantas membuat proposal yang diajukan kepada beberapa pihak.

Faktor utama yang paling penting adalah dikarenakan motif ekonomi sehingga mereka bermain dalam operasi ini. Puluhan juta rupiah bisa diraupnya jika misi mereka sukses.

Awi menerangkan bahwa selama pemeriksaan, penyidik menemukan proposal milik pelaku. Dalam proposal tersebut, ada detail harga yang diajukan kepada pihak pemesan.

“kemudian terkait tadi masalah pemesanan, itu begini, untuk proses penyidikan ini, penyidik menemukan ada satu proposal,” terangnya.

Jasa untuk pembuatan website dihargai Rp 15 juta. Untuk para buzzer dipatok harga sekitar Rp 45 juta untuk 15 orang.

“Disana bunyi proposal untuk pembuat web dia patok harga Rp 15 juta. Kemudian untuk membuat buzzer sekitar 15 orang dikenakan biaya sebulan Rp 45 juta,” jelasnya.

Untuk sang ketua, harga dipatok sendiri, yaitu sebesar Rp 10 juta. Jika dijumlahkan, ada sekitar Rp 72 juta. Ada cost untuk wartawan juga.

“Kemudian dia sendiri ketuanya itu mematok harga Rp 10 juta, kemudian yang lainnya, jadi total Rp 72 juta dari angka yang tadi. Yang terakhir ada cost untuk wartawan. Ini kan baru data-data yang ditemukan dari yang bersangkutan,” pungkasnya.
(Muspri-www.harianindo.com)