Home > Ragam Berita > Nasional > Pengakuan Dwi Hartanto, The Next Habibie, Ternyata Bohong Besar

Pengakuan Dwi Hartanto, The Next Habibie, Ternyata Bohong Besar

Jakarta – Seorang pria bernama Dwi Hartanto beberapa waktu lalu membuat heboh lantaran prestasinya yang luar biasa di bidang teknologi sehingga dianggap sebagai penerus BJ Habibie.

Pengakuan Dwi Hartanto, The Next Habibie, Ternyata Bohong Besar

Dwi Hartanto menjadi salah satu dari 40 orang peneliti diaspora yang ikut dalam acara Visiting World Class Professor yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional.

Namun kini, masyarakat kembali dibuat terkejut dengan pengakuan dari Dwi Hartanto sendiri yang menyebutkan bahwa klaim yang ia katakan dalam beberapa kesempatan hanyalah karangannya saja alias bohong.

Dalam permintaan maaf yang ditulis oleh Dwi di situs Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft, Dwi memberikan klarifikasi dari sejumah klaim yang ia pernah sebutkan.

Dwi mengaku dirinya bukanlah lulusan Tokyo University, namun alumni Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta dengan Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri.

Dwi juga mengaku sempat mengklaim dirinya sebagai post-doctoral Asisten Profesor di Technische Universiteit (TU) Delft dalam bidang aerospace yang meneliti teknologi satelit dan pengembangan roket.

Namun sebenarnya, Dwi merupakan mahasiswa doctoral di TU Delft. Topik penelitian Dwi sesungguhnya dalam bidang intelligent systems, khususnya virtual reality sebagai disertasinya.

Dwi juga mengklarifikasi bahwa dirinya bukan perancang Satellite Launch Vehicle, dan tidak pernah membuat roket bernama TARAV7s (The Apogee Ranger versi 7s).

“Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi anggota dari sebuah tim beranggotakan mahasiswa yang merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE (Delf Aerospace Rocker Engineering), yang merupakan bagian dari kegiatan roket mahasiswa di TU Delft,” tulis Dwi dalam pernyataannya, Minggu (8/10/2017).

Pengakuan Dwi Hartanto, The Next Habibie, Ternyata Bohong Besar

Dia juga menuliskan bahwa proyek tersebut bukanlah pesanan dari Kementerian Pertahanan Belanda, Pusat Kedirgantaraan dan Antariksa Belanda (NLR), Airbus Defence atau Dutch Space, namum hanya proyek roket amatir mahasiswa yang disposori oleh NLR dan lembaga lainnya.

Yang luarbiasanya, program pembuatan roket tersebut pernah ditayangkan dalam program Mata Najwa, dimana saat itu Dwi mengatakan bahwa proyek roket strategisnya digunakan pada Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan dirinya bertindak sebagai technical director.

“Peranan teknis saya saat itu adalah pada pengembangan flight control module dari roket tersebut. Dengan demikian bahwa saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk dalam ring 1 teknologi ESA (European Space Agency) adalah tidak benar,” tulis Dwi.

Cerita bohong lainnya yang dikemukakan oleh Dwi yakni ia mengaku pernah memenangkan lomba riset teknologi antar lembaga penerbangan dan antariksa dari seluruh dunia di Cologne, Jerman, dengan mengalahkan para peneliti dari NASA (Amerika), ESA (Eropa), dan JAXA (Jepang).

Dalam lomba tersebut, Dwi mengklaim dirinya juara dalam bidang riset Spacecraft Technology yang ia beri judul “Lethal Weapon in the Sky”.

Namum dalam kenyataannya, Dwi mengaku tidak pernah mengikuti lomba tersebut. Bahkan Dwi telah memanipulasi template cek hadiah, dan menuliskan namanya sebagai pemenang dengan hadiah 15.000 euro serta mengunggahnya ke sosial media.

“Foto itu saya publikasikan melalui media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya. Teknologi ‘Lethal weapon in the sky’ dan klaim paten tidak benar dan tidak pernah ada. Informasi saya dan tim sedang mengembangkan pesawat tempur generasi ke-6 tidaklah benar. Informasi bahwa saya dan tim dimininta untuk mengembangkan EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar,” kata Dwi.

Dwi juga pernah menyebutkan bahwa dirinya dihubungi oleh protokoler B.J Habibie dan bertemu dengan Presiden Indonesia ketiga tersebut di salah satu restoran di Den Haag pada awal Desember 2016. Namun pertemuan itu sebenarnya tidak pernah terjadi.

“Tidak benar bahwa program master (S2) saya dibiayai oleh pemerintah Belanda. Kuliah S2 saya di TU Delft dibiayai oleh beasiswa yang dikeluarkan oleh Depkominfo. Tidak benar bahwa Belanda menawarkan saya untuk mengganti kewarganegaraan,” kata Dwi.

Dwi juga pernah mengunggah foto kegiatannya melalui Facebook yang ia klaim sebagai persiapan peluncuran TARAV7s. Namun kenyataannya, postingan pada 9 Juni 2015 lalu itu adalah persiapan roket DARE Cansat V7 yang menjadi kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa.

Juga melalui Facebook, pada 3 Februari 2017 lalu Dwi pernah mengabarkan tengah mengerjakan proyek satelit pesanan Airbus (AirSat-ABX). Pada 24 Februari 2017, Dwi juga mengunggah tengah diwawancara oleh TV Nasional Belanda NOS terkait Spacecraft Technology. Lalu beum lama ini, pada 15 Juni 2017 Dwi pernah memposting id card dirinya sebagai Direktur Teknik ESA.

“Saya tidak pernah menempuh studi maupun memiliki gelar akademik berkaitan dengan kedirgantaraan (Aerospace Engineering). Riset saya saat Master di TU Delft memang beririsan dengan sebuah sistem satelit, tapi lebih pada bagian telemetrinya,” kata Dwi.

Kasus Dwi ini kini tengah disidang dalam sidang kode etik di TU Delft sejak 25 September 2017.

Pengakuan Dwi Hartanto, The Next Habibie, Ternyata Bohong Besar

Dalam sidang tersebut terungkap bahwa Dwi sebenarnya pernah diperingatkan oleh rekan-rekannya agar segera menghentikan kebohongannya, namun Dwi tidak mengindahkan.

Deden Rukmana, Professor and Coordinator of Urban Studies and Planning di Savannah State University kemudian menuliskan surat terbuka terkait Dwi Hartanto berdasarkan laporan dari rekan-rekan Dwi di Delft.

“Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan. Mereka sudah menemui Dwi Hartanto dan memintanya agar meluruskan segala kebohongannya tetapi tidak ditanggapi dengan serius. Mereka pun mencari cara-cara lainnya untuk menghentikan kebohongan ini. Salah satunya adalah menghubungi saya dan mereka pun memberikan ijin kepada saya untuk menggunakan kedua dokumen,” kata Dede dalam surat terbukanya yang ia beri judul “Surat Terbuka tentang Ilmuwan Indonesia”.

Menurut Dede, kebohongan Dwi ini sangat berbahaya bila ternyata nantinya Dwi diberi jabatan di bidang Aerospace Engineering yang bukan merupakan keahliannya.

“Bilamana kebohongan ini berlanjut dan Dwi Hartanto diberikan posisi di bidang Aerospace Engineering yang bukan merupakan keahliannya, tentunya akan sangat membahayakan keselamatan jiwa banyak orang,” kata Dede.
(samsul arifin – www.harianindo.com)

x

Check Also

SETARA Tuding FPI Telah Lakukan Intimidasi Terhadap Produk Jurnalistik

SETARA Tuding FPI Telah Lakukan Intimidasi Terhadap Produk Jurnalistik

Jakarta – Mengenai aksi demonstrasi yang diusung oleh massa FPI yang memprotes karikatur Tempo, SETARA ...