Jakarta – Banyak yang percaya bahwa stress menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan kesehatan. Namun tidak banyak yang mengetahui bagaimana stress bisa menimbulkan reaksi yang kurang baik bagi tubuh.
Seorang ilmuwan dari Michigan State University, Profesor Adam Moeser, mencoba untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara stress dan penurunan daya tahan tubuh melalui penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Leukocyte Biology, Rabu (10/1/2018).
Menurut profesor khusus penyakit akibat stres di College of Veterinary Medicine ini, stress jenis tertentu dapat berinteraksi dengan sel kekebalan tubuh yang merespons sel alergen, hingga mempengaruhi kesehatan tubuh.
Reseptor stres yang menyebabkan tubuh melepaskan kortikotropin atau CRF1 dapat mengirim sinyal ke sel kekebalan tubuh yang disebut sel mast.
“Sel mast menjadi sangat aktif dalam menanggapi situasi stres yang mungkin dialami tubuh,” kata Moeser, Rabu (10/1/2018).
“Saat ini terjadi, CRF1 memberitahu sel-sel ini untuk melepaskan zat kimia yang dapat menyebabkan penyakit inflamasi dan alergi seperti sindrom iritasi usus besar, asma, alergi makanan yang mengancam jiwa dan kelainan autoimun seperti lupus,” sambungnya.
Zat kimia tersebut termasuk diantaranya yakni histamine, zat kimia yang diproduksi oleh sel di dalam tubuh saat terpapar alergen.
Pada percobaan terhadap tikus, respon histamin dibedakan atas dua kelompok, yakni karena psikologis dan alergi.
Satu kelompok tikus dianggap normal dengan reseptor CRF1 pada sel mast mereka. Sementara kelompok yang lain selnya kekurangan CRF1.
“Tikus normal yang terpapar stres menunjukkan tingkat histamin dan penyakit yang tinggi. Sebaliknya tikus yang kekurangan CRF1 memiliki kadar histamin rendah sehingga sedikit penyakit dan terlindung dari kedua jenis stres,” ujar Moeser.
“Ini menunjukkan bahwa CRF1 secara kritis terlibat dalam beberapa penyakit yang dipicu oleh stres,” jelasnya.
Tikus yang kekurangan CRF1 dan terpapar stres alergi mengalami penurunan kesehatan 54 persen. Sementara tikus yang mengalami tekanan psikologi mengalami penurunan kesehatan 63 persen.
(samsul arifin – www.harianindo.com)