Jakarta – Nurshandrina yang dipulangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dari Erbil, Irak tahun 2017 lalu membeberkan kesaksian bagaimana hidup di bawah kekuasaan ISIS. Di sana tidak sesuai dengan harapannya tentang kehidupan yang Islami.

“Jauh banget dari apa yang mereka katakan di internet. Banyak yang berantem. Kalau berantem itu sampai lempar-lemparan pisau. Katanya sesama Muslim bersaudara, tapi kok seperti itu?” kata dia.

Para wanitanya kerap mengadu domba satu sama lain. Jauh dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Heru, mantan ISIS melihat perlakuan ISIS sangat biadab. Dia melihat kepala orang yang sudah dieksekusi dijadikan mainan bola oleh anak-anak. Penjaga membiarkan kejadian itu.

“Saya sampai mual melihatnya,” kata dia.

Mereka juga gampang memusyrikan seseorang. Jika tak sama, langsung dianggap kafir. Harga nyawa sangat murah di sana.

Djoko, mantan anggota ISIS yang lain menyatakan datang ke Suriah karena dijanjikan kehidupan yang Islami di mana sekolah dan pendidikan bermutu yang gratis. Dia adalah PNS di Batam yang memiliki jabatan cukup tinggi. Secara ekonomi, kehidupannya di Indonesia sangat terjamin.

Akhirnya Djoko memutuskan untuk memboyong keluarganya ke Suriah. Fakta yang berbeda ia temui disana. Tidak ada kehidupan dan sekolah gratis. Para pejuang ISIS hanya memikirkan kawin.

Banyak yang datang ke saya hingga menanyakan kapan anak saya yang kecil datang haidnya? Perlakukan barbar senantiasa ditemui disana.

Begitu juga dengan Difansa, seorang wanita lain yang trauma bergabung dengan ISIS menyebut fokus para pejuang ISIS cuma kekuasaan, ghanimah (rampasan perang) dan wanita.

“Mereka menyebutnya jihad nikah. Menikah seperti berlomba-lomba,” kata wanita ini.

Biasanya mereka menikah hingga empat kali, lalu bercerai. Setelah itu menikah lagi dan difasilitasi oleh ISIS. Tidak adad kehidupan yang baik seperti digembor-gemborkan oleh ISIS.

“Bohong semua itu,” kata Difansa.

Hal serupa juga terjadi pada Nur Dhania baru berusia 15 tahun ketika dia terpikat propaganda ISIS hingga memutuskan berangkat ke Suriah pada 2015. Dia mengaku mendapatkan semua berita tentang ISIS di media sosial.

Begitu tiba di Suriah remaja asal Indonesia ini langsung kaget dengan kondisi yang ada. Dia sebelumnya telah percaya kepada keluarganya untuk bergabung dengan ISIS. Tak tanggung-tanggung, semua keluarganya sejumlahnya 26 orang hingga nenek dan paman-pamannya pun diboyong ke Suriah.

Perempuan dewasa dan anak-anak ditempatkan di asrama yang menurut Nur sangat kotor, bersama perempuan lain yang tak mereka kenal. Cekcok fisik dan perselisihan sesama penghuni, katanya, menjadi hal wajar. Sering pula terjadi pencurian.

Para kombatan ISIS secara teratur datang ke asrama ini dan meminta Nur Dhania, saudara perempuannya dan wanita remaja lainnya untuk menikah. Tapi dia selalu menolak.

Mereka yang berharap menemukan surga di Raqqa, hanya dalam setahun, menemukan kondisi keluarganya sudah kacau balau.

Neneknya meninggal karena sakit. Seorang pamannya terbunuh dalam serangan udara. Yang lainnya menghilang secara bersamaan.

Sisanya 17 anggota keluarganya yang selamat akhirnya memutuskan melarikan diri dari tempat barbar tersebut. (Hari-www.harianindo.com)