Jakarta- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama pimpinan Yusuf Muhammad Martak diagendakan akan kembali menggelar ijtimak ulama dan tokoh nasional ke-4 dalam waktu dekat.

Agenda itu diinisiasi tak lama pasca presiden terpilih periode 2019-2024 Joko Widodo bertemu dengan lawan politiknya, Prabowo Subianto.

Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan beranggapan bahwa ijtimak ulama ke-4 ditunggangi kepentingan politik. Menurutnya, pertemuan itu untuk menjaga soliditas gerakan 411 dan 212 dalam menekan sejumlah isu ke depan.

“Rencana ijtimak ulama pada dasarnya digunakan sebagai upaya untuk tetap membuat kekuatan penekan yang terdapat dalam gerakan 411 maupun 212 tetap terkonsolidasi,” ujar Rafif, Rabu (17/07).

Dia menyatakan bahwa GNPF akan tetap menjaga isu dan eksistensinya untuk kepentingan pemilu. Menurutnya, kekuatan gerakan tersebut tidak signifikan dan konsisten yang sangat memungkinkan nantinya akan ditinggalkan oleh pendukungnya.

Rafif menyoroti bahwa rencana ijtimak ulama tidak dikarenakan kekecewaan atas pertemuan Jokowi-Prabowo. Namun, yang lebih tampak adalah menjaga eksistensi gerakan untuk menekan sejumlah isu.

“Ini berkaitan dengan agenda upaya untuk mengirimkan pesan bahwa kelompok ini masih relevan dan menjadi kekuatan alternatif di luar partai politik,” ujarnya.

Dia merasa ragu ada peran Partai Keadilan Sejahtera di balik ijtimak ke-4. Tak semua yang bersepakat dengan gagasan perjuangan Islam mau menempuh jalur demokrasi, apalagi melalui partai politik.

Di sisi lain, Rafif memperkirakan pengaruh politik kelompok ini lemah. Mereka dituding gagal menambah perolehan suara bagi pasangan Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.

“Itjma pada dasarnya hanya menambah keyakinan dari pemilih Prabowo yang memang sejak awal sudah mantap pilihannya,” ujar Rafif.

Sedangkan isu agama yang mereka buat tidak memiliki pengaruh pada kontestasi pilpres. Menurutnya, isu itu hanya efektif di tingkat pemilihan kepala daerah.

“Jadi, kuat tidaknya, tergantung bagaimana kelompok ini mencoba tetap relevan dengan isu-isu yang telah dibangun. Jika tidak, akan rontok dengan sendirinya,” kata Rafif.

Pakar komunikasi politik, Lely Arrianie beranggapan bahwa ijtimak secara umum hanya untuk menentukan dan mendukung calon presiden pada pilpres lalu.

“Yang sebenarnya punya kepentingan lanjutan itu adalah koalisi pengusung. Tapi Pak Prabowo juga telah mengatakan koalisi sudah bubar pasca selesainya Pilpres,” ujar Lely.

Lely menduga ada kemungkinan ijtimak tersebut menjadi momentum GNPF-Ulama melahirkan parpol. Meskipun hal itu tak mudah karena harus memenuhi persyaratan UU Parpol.

Selain itu, Lely beranggapan bahwa tidak elok jika ijtimak ulama diadakan sebagai bentuk kekecewaan atas pertemuan Prabowo dan Jokowi. Pengakuan kekalahan Prabowo dan pertemuannya dengan Jokowi, ujar Lely, justru seharusnya didukung.

Dia menilai ijtimak ulama hanya memiliki pengaruh bagi pendukung yang berada di luar pemerintah. Pasca pilpres, belum ada lagi tokoh yang mereka dukung sejak Prabowo bertemu Jokowi. (Hari-www.harianindo.com)