Jakarta – Terdakwa penyebar berita bohong atau hoaks, Ratna Sarumpaet, menilai tuntutan penjara enam tahun terhadap dirinya tidak jelas. Dia menuding tuntutan itu politis.

Ratna Nilai JPU Memaksakan Kebohongan di Medsos sebagai Keonaran

“Dasarnya emang enggak jelas. Saya kan sudah bilang nggak ada yang masuk pasalnya, tapi dipaksakan. Dari awal saya sudah ngomong ini politik. Bagaiman menjalankannya secara politis, menjelaskanya secara politis aku enggak tahu,” kata Ratna Sarumpaet usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019).

Ratna menuding tuntutan jaksa dipaksakan. Jaksa memaksakan kebohongan yang muncul di Twitter sebagai bentuk keonaran.

“Gimana tuh banyak bohongnya di awal sudah pakai ayat-ayat suci (tuntutan) terus di belakang dia bohong juga. JPU sudah tahu bahwa onar itu bukan Twitter, tapi dia maksa juga. Mereka (JPU) memaksakan,” tandas Ratna.

Ratna menyebut yang dapat dikatakan keonaran adalah aksi kericuhan 22 Mei 2019 di Jakarta. “Tuntutan itu hiperbola dan terlalu didramatisir,” tambah Ratna.

Ratna dinilai jaksa terbukti menyebarkan berita bohong atau hoaks. Cerita bohong yang dirangkai Ratna seolah-olah benar terjadi penganiayaan oleh orang yang tidak dikenal di Bandung, Jawa Barat.

Cerita Ratna turut disertai dengan mengirim foto wajah lebam ke media sosial. Menurut Jaksa, perbuatan itu mengakibatkan kegaduhan dan keonaran di masyarakat.

Terlebih, sejumlah tokoh ikut angkat bicara mengenai kabar yang disebar Ratna. Namun, Ratna kemudian mengakui bahwa foto lebamnya itu dampak dari operasi plastik yang dijalaninya.

Akibat perbuatannya, Ratna dituntut enam tahun penjara. Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait penyebaran berita bohong. (Tita Yanuantari – www.harianindo.com)