Jakarta – Sebelum menerima panggilan Presiden Soeharto untuk pulang kampung, BJ Habibie pernah mendapatkan tawaran dari Presiden Filipina Ferdinand Marcos membangun industri pesawat di sana pada 1974. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Habibie.

“Usia saya 36 tahun saat diminta CEO Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), Ludwig Bolkow, pergi menemui Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Saya tiba di ruang tamu Istana Malacanang awal Januari 1974,” ungkap BJ Habibie.

“Saya dipersilakan masuk ke ruang kerja Presiden Marcos. Ruangan itu besar, dingin, dan gelap. Cahaya di tengah ruangan menyorot meja tulis besar dan Presiden Marcos yang berdiri di belakangnya. Dia mengulurkan tangan, ”My son, welcome back to your country, Dr Habibie!” Saya kaget. ”Mr President, saya bukan orang Filipina!” kata Habibie pada Marcos.

”Ah, you are son of this region,” kata Marcos seperti ditirukan Habibie.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Marcos memberikan penawaran terhadap Habibie untuk melakukan pengembangan terhadap industri dirgantara di Manila. ”Bagaimana kalau kamu pindah kemari? Saya kasih semua fasilitas. Kamu bisa membantu Indonesia dari sini,” kata Marcos.

“Saya bilang tidak bisa. Mr President, saya datang kemari untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah hak prerogatif umat manusia. Tidak tergantung warga negara. Dua minggu kemudian, permintaan itu resmi saya tolak,” kata Habibie.

Menurut Habibie, beberapa bulan kemudian, Presiden Soeharto bertemu dengan Presiden Marcos di Manado. Marcos sedikit melagak dan menyatakan akan membangun pusat pengembangan teknologi dan dirgantara.

”Saya punya uang dan ahlinya,” kata Marcos. ”Siapa namanya?” ujar Pak Harto. ”Bacharuddin Jusuf Habibie,” jawab Marcos. ”Lho, itu Rudy! Saya kenal dia dari kecil,” kata Pak Harto.

“Ya, saya memang mengenal Pak Harto sejak berumur 14 tahun,” kata Habibie.

Setelah mendengar cerita Marcos tersebut, Soeharto mengutus Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo menemui Habibie di Jerman. “Saya sedang mengikuti rapat di kantor MBB saat ditelepon Duta Besar RI untuk Jerman, Achmad Tirtosudiro—yang belakangan menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.”

Habibie mengungkapkan bahwa dirinya tidak mengenal Ibnu Sutowo, yang ingin bertemu dengan dia di Dusseldorf.

Esoknya, Habibie pergi ke Dusseldorf. Pertemuan tersebut terjadi di Presidential Suite Hotel Hilton. Baru saja masuk ruangan, dia dimaki-maki Ibnu Sutowo dengan bahasa Belanda. ”Saudara Rudy, jij moet shaamen, als Indonesier! Saudara Rudy, Anda harus malu kepada diri sendiri sebagai orang Indonesia. Kenapa Anda membangun negara lain?” kata Ibnu Sutowo.

“Saya terdiam karena ucapannya pedas tapi tepat sekali. Saya malu,” kata Habibie.

Hari itu juga Ibnu Sutowo meminta Habibie pulang ke Jakarta. Habibie pun diangkat sebagai penasihat Direktur Utama Pertamina. Sebelumnya, sekitar 1970, di Jerman, Soeharto pernah meminta Habibie untuk pulang sewaktu-waktu jika negara membutuhkan.

“Saya bersedia pulang setelah menyelesaikan urusan pekerjaan di Blohm dan mendapat restu Ludwig Bolkow. Saya memboyong keluarga pulang ke Tanah Air pada Maret 1974, hanya dua bulan setelah pertemuan dengan Marcos,” katanya.

Setahun kemudian, Presiden Soeharto dan Ibnu Sutowo membentuk Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan Pertamina. Divisi ini adalah cikal-bakal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang kemudian menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Industri ini resmi beroperasi pada 26 April 1976. Pada 1989, Soeharto memberikan kepercayaan untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan IPTN.

“Program teknologi Pak Harto sebetulnya hanya melanjutkan idealisme Sukarno. Indonesia harus melek dan mandiri teknologi. Pengalaman kerja di Blohm membuat saya memilih berfokus pada pesawat angkut komersial. Saya memang tidak berminat membuat pesawat tempur. Saya yakin bangsa ini lebih membutuhkan pesawat komersial. Saya butuh waktu satu tahun untuk menyiapkan industri pesawat terbang Indonesia,” katanya.

BJ Habibie lalu menggandeng CASA Spanyol membuat NC-212 Aviocar twin turboprop (Aviocar berbaling-baling ganda) dan CN-235 Tetuko. “Saya juga menggandeng MBB—kantor lama saya—membuat helikopter BO-105 dan Aerospatiale di Prancis untuk membuat helikopter Super Puma berkapasitas 20 orang,” katanya. (Hr-www.harianindo.com)