Lebak – Nilau tukar rupiah tengah mengalami tren penurunan yang cukup mengkhawatirkan. Pelemahan rupiah tersebut pun mulai berimbas terhadap perajin tempe. Hal ini mulai terlihat di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Perajin Tempe Terancam Bangkrut Akibat Imbas Pelemahan Rupiah
Sejumlah perajin tempe di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, terancam gulung tikar. Hal itu sehubungan kenaikan kedelai impor di tingkat pengecer menembus Rp8.200 per kg, padahal sebelumnya Rp7.000 per kg.

“Kenaikan harga kedelai itu akibat dampak pelemahan nilai rupiah hingga mencapai Rp14.000 per USD,” kata Adhari, seorang perajin tempe warga Desa Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak, Rabu.

Menurut dia, saat ini pelaku usaha tempe bingung setelah kedelai mengalami kenaikan. Akibat dampak kenaikan bahan baku tempe tersebut tentunya mengancam keberlangsungan perajin usaha kecil itu.

Saat ini, produksi tempe berkurang sekitar 60 persen pasca kenaikan kedelai di tingkat pengecer itu. Apalagi, perajin tempe di Kabupaten Lebak tidak memiliki lembaga usaha, seperti koperasi maupun asosiasi yang bisa melindungi mereka.

Para perajin tempe di Kabupaten Lebak sejak dulu hingga sekarang menggunakan kedelai impor dari Argentina dan Amerika Serikat. Sebab, pasokan kedelai lokal relatif terbatas juga kualitasnya kalah jauh dengan kedelai impor. Dengan adanya kenaikkan kedelai ini, tentu produksi mengeluarkan modal dua kali lipat.

Untuk bertahan hidup, perajin tempe mengurangi biaya produksi yang biasanya 60 kilogram kedelai menjadi 32 kilogram. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah dapat melindungi para perajin tempe dengan memasok kedelai dengan harga murah dan terjangkau.

“Kami sangat terpukul dengan kenaikan kedelai karena keuntungan relatif kecil akibat biaya produksi cukup tinggi,” katanya.

Dia mengatakan, apabila harga kedelai tidak segera dikendalikan pemerintah, maka dipastikan ratusan perajin tempe dan tahu di Kabupaten Lebak terancam bangkrut dan menimbulkan pengangguran.

Kebanyakan perajin di sini bermodal relatif kecil dan jika kedelai naik tentu bisa gulung tikar.

Selain itu juga harga satuan tempe di pasaran tidak mengalami kenaikan.

Selama ini, ujarnya, perajin tempe menjerit dengan kenaikan kedelai di pasaran itu.

Bahkan, beberapa perajin kini bangkrut dan tidak memproduksi lagi akibat naiknya kedelai.

“Kami minta harga kedelai kembali normal dengan kisaran Rp7.200 agar usaha mereka berkembang,” ujarnya.

Begitu pula, Soleh, seorang perajin tempe warga Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak mengaku bahwa dirinya terpukul kenaikkan kedelai impor mencapai Rp8.200 per kg dari sebelumnya Rp7.000 per kg.

Kenaikan kedelai itu, menurut dia akan berdampak perajin tempe gulung tikar karena produksi berkurang juga kondisi modal menipis.

“Kami kalau dulu terbantu dari koperasi untuk kebutuhan kedelai, namun saat ini dipasok dari pengecer,” katanya.

Dia mengaku, sejak naiknya kedelai terpaksa mensiasati dengan mengurangi ukuran dari biasanya. Sebab, apabila harga satuan tempe dinaikkan dipastikan konsumen menolak.

“Karena itu, kami memperkecil ukurannya namun harga tetap sama sebesar Rp1.000,” katanya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disprindag) Kabupaten Lebak, Wawan Ruswandi mengatakan, saat ini jumlah perajin tempe di daerah ini tercatat 245 perajin. Produksi perajin tempe itu dipasok di wilayah Kabupaten Lebak. Namun, saat ini mereka terpukul dengan terjadi kenaikkan kedelai impor hingga menembus Rp8.000-8.500 per kg.

“Kami akan melaksanakan intervensi melalui subsidi maupun operasi pasar. Sebab kenaikkan kedelai impor akibat melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS,” ujarnya. (Galang Kenzie Ramadhan – www.harianindo.com)