Jakarta – Kini, Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih berat daripada tahun sebelumnya. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, hal tersebut dapat dilihat dari anjloknya ekspor dan impor Indonesia.

Salah satu penyebab menurunnya sejumlah indikator pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed, bank sentral Amerika Serikat.

Menurut dia, pelemahan sejumlah indikator di dalam negeri tak terlepas dari gejolak ekonomi global. Terutama, sejak bank sentral AS, The Fed, mengetatkan kebijakan moneternya dengan mengerek suku bunga acuan.

Kebijakan tersebut berdampak pada terhambatnya pertumbuhan kredit pada semester pertama 2019. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tingkat kredit di enam bulan pertama 2019 sebesar 9,92 persen. Besaran tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai angka 10,75 persen.

Faktor determinan lainnya adalah perang dagang antara AS dengan Tiongkok. Hal tersebut berpengaruh terhadap lesunya angka ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada semester pertama 2019, total ekspor Indonesia sebesar US$80,32 miliar. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 8,57 persen dari angka tahun lalu yang mencapai US$87,86 persen. Sementara total impor Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,63 persen.

“Ini makanya di dalam enam bulan pertama, kami masih melihat momentum. Tetapi kami juga harus mulai waspada,” ujar Sri Mulyani pada Kamis (25/07/2019).

Indikator lainnya adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Per Juni 2019, tercatat bahwa penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar Rp 123,97 triliun atau tumbuh 3,4 persen dibanding tahun 2018.

Angka tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan PPh badan tahun lalu yang mencapai besaran 23,8 persen. Hal tersebut menandakan bahwa sektor usaha sedang mengalami penurunan laba.

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang melemah, namun indikator kesejahteraan seperti tingkat kemiskinan mengalami penurunan dari 9,82 persen di tahun 2018 menjadi 9,41 persen di tahun ini. Namun, pemerintah harus tetap memperhatikan kondisi pertumbuhan ekonomi.

“Hingga pertengahan tahun, growth (pertumbuhan) masih menunjukkan momentum positif, meski semuanya terlihat melemah, jadi kami harus lakukan reformasi secara internal,” pungkasnya. (Elhas-www.harianindo.com)