Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid beranggapan bahwa sikap yang dilakukan oleh tiga pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menyerahkan mandat operasional lembaga kepada Presiden Joko Widodo, telah melanggar hukum tata negara dan konstitusi.

Fahri menyatakan bahwa upaya itu bisa dinilai sebagai bentuk pengunduran diri dan presiden memiliki hak untuk segera mengganti dengan pimpinan yang baru.

Dia mengungkapkan bahwa tindakan tiga pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang dinilai telah serampangan dan melanggar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu sendiri. “Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada presiden berdasarkan hukum tata negara,” ujar Fahri saat dikonfirmasi, Minggu (15/09).

Alumni Program Doktor Hukum Tata Negara kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini juga menilai bahwa penyerahan operasional itu sebagai bentuk pengunduran diri. Dia menerangkan bahwa dalam UU KPK menyebutkan pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan lantaran meninggal dunia, berakhir masa jabatannya, menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, berhalangan tetap atau secara terus menerus selama lebih dari tiga bulan, mengundurkan diri, atau dikenai sanksi berdasarkan UU KPK.

Sementara di sisi lain, Fahri melanjutkan bahwa presiden tidak dalam posisi dan wewenang untuk bertanggung jawab dan mengelola institusi KPK sebagai ‘state auxiliary agencies’, terkecuali tiga pimpinan KPK tersebut secara terbuka menyampaikan pengunduran diri mereka berdasarkan pada kaidah ketentuan Pasal 32 ayat (1) poin e UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

”Ini adalah suatu praktik yang tidak lazim dan cenderung deviasi dari prinsip hukum. Apalagi di satu sisi telah menyerahkan mandat kepada presiden, tetapi di sisi yang lain berharap menunggu arahan presiden untuk menjalankan atau tidak menjalankan tugas-tugas kelembagaan KPK sampai Desember 2019,” lanjut Fahri.

Dia menjelaskan bahwa pimpinan KPK berdfasarkan aturan yang berlaku bekerja secara kolektif. Kemudian pemimpin merupakan penanggung jawab KPK. Dengan demikian, kata Fahri, untuk menjaga keberlanjutan dan kesinambungan kinerja KPK berdasarkan pada tujuan dibentuknya KPK sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, presiden memiliki hak untuk memberikan langkah-langkah berdasarkan mandat yang berlaku.

“Yaitu mengambil langkah untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK saat ini dengan mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sampai dengan berahirnya periode pimpinan yang lama yaitu sampai pada Desember 2019 yang akan datang,” pungkas Fahri.

Dia juga menghimbau bahwa presiden agar semua proses projusticia di KPK berjalan sebagaimana mestinya. Fahri memberikan satan terhadap presiden agar menggunakan kewenangan konstitusionalnya berdasarkan UU RI Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang.

Fahri membeberkan bahwa presiden bisa mengangkat anggota sementara pimpinan KPK untuk mengisi sejumlah jabatan yang kosong. ”Dengan demikian maka presiden bisa mengisi kekosongan pimpinan KPK yang kurang dari tiga orang tersebut dan secara kelembagaan KPK tetap berjalan menyelesaikan tugas dan wewenangnya sampai dengan dilantiknya pimpinan KPK yang baru pada Desember nantinya,” tandas Fahri. (Hr-www.harianindo.com)