Jakarta – Bupati Bantul Suharsono menarik izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu dengan dalih melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terkait tata cara pemberian IMB rumah ibadah. “Saya cabut karena ada unsur yang tidak terpenuhi secara hukum,” kata Suharsono di kantor Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 Juli 2019.

Keputusan Bupati tersebut berdampak pada pendeta dan setidaknya 50 jemaat gereja yang harus dengan terpaksa menumpang beribadah di Gereja Kristen Jawa hingga akhir Agustus mendatang. GKJ merupakan gereja terdekat dari gereja pantekosta. Kedua gereja tersebut memiliki aliran dan tata cara beribadah yang berbeda.

Suharsono meneken surat pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah tersebut pada Jumat, 26 Juli 2019. Dia berdalih bahwa Gereja Pantekosta tersebut menjadi satu dengan rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus, sehingga tidak bisa dialihfungsikan sebagai rumah ibadah. Gereja, kata Suharsono seharusnya tidak boleh digunakan pula sebagai rumah tinggal.

Selain mempermaslahkan gereja sebagai rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus, Suharsono juga mempersoalkan ibadah gereja yang tidak dilakukan secara berkelanjutan. Dalam sebulan, dia mendapatkan laporan dari warga bahwa ibadah gereja tidak berlangsung secara terus menerus atau hanya dua hingga tiga kali dalam sebulan.

Pembatalan perizinan gereja itu muncuat setelah Pemkab Bantul mendapatkan laporan penolakan warga Gunung Bulu, Desa Argorejo, Sedayu. Kendati demikian, gereja yang berdiri di RT 34 Gunung Bulu, Argorejo itu telah mendapatkan IMB yang diterbitkan Pemkab Bantul pada 15 Januari 2019.

Pendeta Tigor Yunus Sitorus sebagai pemilik bangunan mengurus IMB gereja sejak 2017. Lalu pada 15 Januari keluarlah surat izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu bernomor 0116/DPMPT/212/l/2019 tersebut. Awalnya gereja tersebut merupakan temapat tinggal Tigor dengan istri dan anaknya.

Sejak 2003, Pendeta Tigor sudah merencanakan untuk menjadikan rumah tinggalnya sebagai gereja. Namun, hal tersebut terhalang lantaran warga Gunung Bulu yang mayoritas Muslim melakukan penolakan. Ada sekelompok orang merobohkan bangunan yang Tigor dirikan. Ia kemudian melaporkan kejadian itu kepada ketua RT.

Pendeta Tigor kemudian terpaksa menandatangani surat pernyataan yang isinya menyatakan rumah miliknya tidak untuk tempat ibadah. “Semua warga RT 34 menolak rumah itu jadi gereja. Sudah ada perjanjian dengan Pak Pendeta Sitorus rumahnya tidak boleh jadi tempat ibadah,” kata Camat Sedayu Fauzan M.

Pendeta Tigor merasa kecewa dengan pencabutan IMB tersebut. Gereja Pantekosta Immanuel merupakan satu-satunya gereja Pantekosta di desa tersebut. Sejak 2003 tekanan dari warga setemapat sudah bermunculan dan membuat para jemaat tidak leluasa untuk melakukan ibadah.

Setelah keluar surat pencabutan IMB oleh Bupati Bantul Suharsono, Pendeta Tigor dan jemaatnya harus menumpang di Gereja Kristen Jawa yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Gereja Pantekosta Immanuel. “Kami harus mengalah, ibadah secara bergantian karena menunggu jadwal ibadah jemaat GKJ selesai,” kata Pendeta Tigor.

Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati yang menjadi juru bicara Gereja Pantekosta Imannuel menyesal terhadap pejabat daerah yang tidak mengerti terkait dengan denominasi atau aliran dalam Kristen hingga memunculkan keputusan pembatalan IMB.

Ketidakpahaman itu membuka ruang untuk mendiskriminasi setiap aliran dalam agama Kristen dan agama lainnya. “Kami sudah berdiskusi dengan Komnas HAM tentang hak beribadah dan memiliki tempat ibadah,” kata Agnes.

Agnes mengharapakan bahwa Bupati Bantul, Suharsono meninjau ulang keputusannya mencabut IMB Gereja Pantekosta. Bila keputusan itu tidak ditarik, kata Agnes, maka Gereja Pantekosta akan menggugat keputusan bupati tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. (Hr-www.harianindo.com)