Jakarta – Akhir-akhir ini, BPJS Kesehatan tengah dirundung permasalahan defisit yang diprediksi akan membengkak pada tahun berikutnya. Meski demikian, Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan justru mengajukan kenaikan tunjangan.

Hal tersebut kemudian dikomentari oleh pengamat politik Musni Umar. Menurutnya, tidak seharusnya permohonan kenaikan tunjangan tersebut diajukan saat ini. Hal tersebut dikarenakan mengingat bahwa BPJS kini sedang menghadapi permasalahan defisit anggaran.

“Seharusnya kesulitan keuangan yang dialami BPJS Kesehatan, dapat dibantu dari gaji upah direksi dan pengawas,” ujar Musni pada Senin (02/09/2019).

“Hal itu dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap kondisi keuangan yang dialami BPJS Kesehatan,” imbuhnya.

Baca Juga: Jika Tak Naikkan Iuran, BPJS Bakal Menderita Defisit Lebih Besar

Musni kemudian mempertanyakan alasan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang justru mengabulkan pengajuan tersebut dengan menaikkan dua kali lipat tunjangan cuti direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dari gaji pokok.

“Padahal gaji Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan plus bonus bisa mencapai Rp 200 juta per bulan,” ungkap Musni.

Sebelumnya, tercantum dalam PMK No.34/PMK.02/2015 bahwa besaran tunjangan yang diterima paling banyak sebesar satu kali gaji yang kemudian diberikan sekali dalam setahun. Namun beleid tersebut diganti dengan PMK No.112/PMK.02/2019 yang menyebutkan bahwa batas maksimal besar tunjangan dinaikkan menjadi dua kali lipat gaji utama.

Kenaikan tunjangan direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan menjadi sesuatu yang aneh. Mengingat bahwa kondisi keuangan BPJS yang kian merosot. (Elhas-www.harianindo.com)