Jakarta – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengklaim bahwa pendidikan agama di sekolah tidak perlu ditiadakan, tetapi sebaiknya metode pembelajarannya yang harus dievaluasi.

Sebelumnya praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono menyarankan agar pendidikan agama di sekolah ditiadakan.

“KPAI menyayangkan polemik penghapusan pelajaran agama di sekolah atas usulan seseorang yang bernama Darmono yang dimuat dalam salah satu media online telah membuat situasi memanas,” kata Retno di Jakarta, (08/07/2019).

“Padahal, sepanjang pengawasan KPAI, pemerintah pusat melalui Lukman Hakim selaku Menteri Agama dan Muhajir Efendi selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI telah beberapa kali memberikan pernyataan resmi bahwa pemerintah tidak akan menghapus pelajaran agama di sekolah,” sambungnya.

Saran Darmono terkait penghapusan pendidikan agama di sekolah memiliki dasar argumentasi. Menurutnya saat ini pendidikan agama di sekolah malah dimanfaatkan untuk alat politik. Pendidikan yang seharusnya memberikan ilmu tentang persatuan bangsa sedari dini, malah dikhawatirkan Darmono malah berujung dengan radikalisme. Hal itu karena adanya perbedaan pemberian pendidikan agama berdasarkan agama masing-masing, sehingga seolah-olah agama itu menjadi identitas.

Menanggapi soal pendidikan agama yang dikritisi oleh Darmono, Retno menilai pandangan Darmono itu artinya pendidikan agama bagi semua agama yang diakui di Indonesia.

Retno beranggapan bahwa pendidikan agama di Indonesia memang hanya difokuskan kepada persoalan teoritis namun kurang dalam mengimplementasikan ke dalam makna atau arti yang dipraktikan secara langsung oleh siswa terhadap lingkungannya.

Meskipun pada Kurikulum 2013, guru dituntut untuk bisa melakukan proses pembelajaran dengan prinsip mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan mencipta (5M), namun pada eksekusinya melenceng dari yang tealh ditetapkan.

“Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir, proses pembelajaran di kelas lebih diarahkan kepada menghafal informasi,” jelasnya.

Retno juga sempat menilai persoalan Kurikulum 2013 di mana pendidikan agama di sekolah digabung dengan pendidikan budi pekerti. Pencampuran kedua pendidikan tersebut banyak dikritik masyarakat karena melihat adanya perbedaan dasar kitab suci masing-masing agama serta berlandaskan norma-norma dan budaya yang berlaku di suatu tempat. Ia meminta kepada pemerintah untuk lebih bijak dalam menentukan pembagian pendidikan yang terbaik bagi anak bangsa.

Dengan demikian Retno menganggap bahwa kalau pendidikan agama masih sangat dibutuhkan di sekolah. Akan tetapi, yang harus diberikan masukan ialah soal metode pembelajarannya serta materi yang diberikan. Semisal, materi yang diberikan ialah bagaimana bisa menghargai sesama tanpa melihat agama, ras, warna kulit ataupun status sosial.

“Hal ini bisa menjadi materi yg dianggap utama, mengingat mata di negeri ini kita sangat majemuk, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan di Indonesia. Jadi penting pelajaran agama juga memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan memperkokoh persatuan bangsa,” tutupnya. (Hari-www.harianindo.com)