Pemimpin Kudeta Militer Thailand Katakan Tidak Ada Pemilu Selama Setahun

Jenderal Prayuth Chan-ocha terlihat melakukan pengumuman di stasiun TV lokal.
(Sumber foto: AFP)

Bangkok – Pemimpin kudeta militer di Thailand telah mengatakan bahwa pemilu tidak akan diadakan terlebih dahulu dalam kurun waktu setahun. Seperti dilansir dari BBC (Jumat, 30/5/2014), penundaan tersebut dilakukan untuk memberikan waktu agar proses rekonsiliasi politik dan reformasi pemerintahan di Thailand bisa berjalan dengan sebaik-baiknya dan tidak perlu buru-buru.

Dalam sebuah siaran televisi lokal, Jenderal Prayuth Chan-ocha, sang pemimpin militer Thailand, menghimbau kepada dua belah pihak, pro-pemerintah dan oposisi, untuk saling berkoordinasi dan bekerjasama untuk kemajuan Thailand. Dirinya juga menghimbau masyarakat untuk menghentikan aski protesnya karena akan mengganggu stabilitas keamanan. Jenderal Prayuth seakan merasa demikian gerah dan geram terhadap konflik politik yang berlarut-larut di Thailand, yang dianggapnya buang-buang waktu, hingga menyebabkan krisis di Thailand tak kunjung selesai.

Jenderal Prayuth mengatakan bahwa tahap pertama proses ini berjangka waktu tiga bulan dan berfokus pada rekonsiliasi, dengan penyusunan kabinet baru serta pengajuan draft konstitusi yang baru pula. Tahap kedua, yang akan berlangsung selama sisa tahun tersebut, akan berfokus pada reformasi pemerintahan. Jika kedua tahap tersebut telah terselesaikan, maka pemilu bisa dilakukan.

Jenderal Prayuth mengatakan bahwa berikanlah waktu untuk mencoba mencari penyelesaian masalah yang terbaik. Jika solusi-solusi terbaik telah ditemukan, maka tentu militer akan mundur dari kendali pemerintahan dan mengawasi dari jauh. Jenderal Prayuth juga telah mengatakan bahwa jika aksi protes tetap saja dilakukan, yang tentunya akan mengganggu proses kerja rekonsiliasi politik tadi, maka dengan terpaksa militer akan menggunakan kekuatan (kekerasan) untuk menghentikannya.

Militer Thailand memutuskan untuk mengambil alih kendali pemerintahan karena krisis politik tak berkesudahan di sana. Aksi militer ini tentu bukan tanpa ‘perlawanan’ dari masyarakat. Aksi protes pun beberapa kali terjadi, dan menyebabkan sekurangnya 28 orang meninggal dunia. Beberapa figur besar politik juga sempat ditahan, seperti mantan Presiden Thailand, Yingluck Shinawatra, meski akhirnya dibebaskan namun dengan pengawasan ketat dan beberapa larangan aktivitas. (Galang Kenzie Ramadhan – www.harianindo.com)