Jakarta – Setelah ujarannya yang menyebut bahwa Sriwijaya hanyalah kerajaan fiktif dan sekadar gerombolan bajak laut menuai respon negatif, Ridwan Saidi kemudian buka suara. Dalam pernyataannya, ia mengaku bahwa ujaran tersebut adalah bagian dari argumen mengenai Kerajaan Sriwijaya.

“Saya hanya menambahkan argumen,” kata Ridwan pada Rabu (28/08/2019).

Argumen mengenai ‘Kerajaan Sriwijaya fiktif’, menurut budayawan Betawi tersebut, berasal dari pandangan adanya kekeliruan dalam menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada abad ke-7.

“Mereka menyangka itu bahasa Sanskerta, lalu terjemahannya jadi kacau balau, lalu mereka simpulkan kalau prasasti itu menyatakan seorang bernama Dapunta Hyang bawa 20 ribu tentara bikin kerjaan, itu yang dia salah. Itu nggak ada urusannya dengan tentara, itu adalah teologi Kaum Saba, Kaum Saba itu kaum dari Queen of Sheba yang menganut monoteisme Musa,” papar Ridwan.

“Kaum Saba ini bergerak dari sekujur tubuh Sumatera dari utara sampai ke selatan, kemudian pada abad ke-7 Queen of Shebanya udah nggak ada, abad ke-7 mereka bikin prasasti, kaum Saba ini, yang di Sumatera Selatan disebut Sabo. Dan itu ada situsnya Sabokingking, kingking itu artinya pengikut, pengikut Saba,” sambungnya.

Baca Juga: Klaim Kerajaan Sriwijaya Fiktif, Ridwan Saidi Dianggap tak Punya Kapasitas

Selain itu, Ridwan Saidi menyalahkan arkeolog para zaman itu yang mengartikan Dapunta Hyang sebagai nama Prabu. Di sini pulalah ia mengatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah konsep ruang, bukan nama kerajaan.

“Arkeolog mengartikan Dapunta Hyang nama Prabu, kacau. Itu dikatakan kalau engkau menjauh dari image Tuhan maka ibadat kamu akan teriris, lalu kita harus hormat kepada Sriwijaya, artinya Sriwijaya di situ adalah sang ruang, the space, kan kita ada ruang dan waktu, dia menghormati ruang, harus hormat kepada the space, itu intinya. Jadi Sriwijaya bukan nama kerajaan kalau mengikuti Prasasti Kedukan Bukit, Sriwijaya artinya the space, ruang,” tutur Ridwan.

Kemudian, ia menuding bahwa para arkeolog dan ilmuwan Eropa dari tahun 1882 hingga 1918 tersebut salah menentukan bahasa yang digunakan dalam prasasti tersebut. Ridwan berargumen bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Armenia, bukan Sanskerta.

Soal banyaknya orang yang ingin melaporkan dirinya terkait argumen tersebut, Ridwan Saidi mengaku tak ambil pusing.

“Saya hanya menambahkan argumen saya. Kalau orang mau berbuat apa pun terhadap diri saya, saya nggak hirau, saya nggak mau berpolemik soal hak orang, biarin aja. Hak orang masing-masing, saya kan punya hak untuk menyatakan apa yang saya anggap benar dan tidak menyinggung suku bangsa, agama perorangan, kan nggak ada yang saya singgung, jadi saya hanya menambahkan argumentasi,” pungkas Ridwan. (Elhas-www.harianindo.com)